Sebenarnya, masalah
hubungan antara suami-istri itu pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka.
Maka hendaknya mereka memerhatikan atau menghindari hal-hal yang dapat
menyebabkan kerusakan dan kelangsungan hubungan suami-istri. Kesalahan yang
bertumpuk dapat mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan keluarganya.
Agama Islam dengan nyata
tidak mengabaikan segi-segi kehidupan manusia dan kehidupan berkeluarga, yang
telah diterangkan tentang perintah dan larangannya. Semua telah tercantum dalam
ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai akhlak, tabiat, suluk, dan sebagainya.
Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).
Islam telah menetapkan
pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual, serta ditentangnya
tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena itu, Islam
melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan memfungsikannya dengan cara
menentang orang yang berkehendak untuk selamanya menjadi bujang dan
meninggalkan sunnah Nabi SAW, yaitu menikah.
Nabi SAW telah
menyatakan sebagai berikut: “Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku
lebih khusyuk, kepada Allah daripada kamu. Tetapi aku bangun malam, tidur,
berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak
senang (mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.”
Islam telah menerangkan
terhadap kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai hubungannya dan
masalah-masalah seksual. Bahkan mengerjakannya dianggap suatu ibadat.
Sebagaimana dikatakan
Nabi SAW, “Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala).” Para sahabat bertanya,
“Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan mendapat
pahala?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang
dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakukan pada tempat yang
halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang buruk saja,
akan tetapi tidak menghitung hal-hal yang baik.”
Berdasarkan tabiat dan
fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih agresif, tidak memiliki kesabaran
dan kurang dapat menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu dan dapat
menahan diri.
Karenanya
diharuskan bagi wanita menerima dan menaati
panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “Jika si istri dipanggil
oleh suaminya karena perlu, maka supaya segera datang, walaupun dia sedang
masak.” (HR Tirmidzi)
Nabi SAW menganjurkan
supaya si istri jangan sampai menolak kehendak suaminya tanpa alasan, yang
dapat menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya menyimpang ke jalan yang tidak
baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.
Nabi SAW bersabda, “Jika
suami mengajak tidur si istri lalu dia menolak, kemudian suaminya marah
kepadanya, maka malaikat akan melaknat dia sampai pagi.” (Muttafaq Alaih).
Keadaan yang demikian
itu jika dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal, misalnya sakit,
letih, berhalangan, atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal
itu, menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi
hamba-hamba-Nya Yang Maha Pemberi Rezeki dan Hidayat, dengan menerima uzur
hambaNya. Dan hendaknya hamba-Nya juga menerima uzur tersebut.
Selanjutnya, Islam telah
melarang bagi seorang istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena
baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala
puasa. Nabi SAW bersabda, “Dilarang bagi si istri (puasa sunnah) sedangkan
suaminya ada, kecuali dengan izinnya.” (Muttafaq Alaih)
Disamping dipeliharanya
hak kaum laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga
harus dipelihara dalam segala hal. Nabi SAW menyatakan kepada laki-laki (suami)
yang terus-menerus puasa dan bangun malam. Beliau bersabda, “Sesungguhnya bagi
jasadmu ada hak dan bagi keluargamu (istrimu) ada hak.”
Abu Hamid Al-Ghazali,
ahli fiqih dan tasawuf, dalam kitab Ihya’ mengenai adab bersetubuh, berkata,
“Disunnahkan memulainya dengan membaca basmalah dan berdoa, sebagaimana
diajarkan Nabi SAW, “Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan
dari apa yang Engkau berikan kepadaku.”
Al-Ghazali berkata,
“Dalam suasana ini (akan bersetubuh) hendaknya didahului dengan kata-kata
manis, bermesra-mesraan dan sebagainya. Dan menutup diri mereka dengan selimut,
jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus memelihara suasana dan
menyesuaikan diri, sehingga kedua pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa
puas.”
Menurut Ibnul Qayyim,
tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu adalah: 1) Dipeliharanya nasab
(keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir Allah. 2)
Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus. 3)
Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di surga.
Ditambah lagi mengenai
manfaatnya, yaitu menundukkan pandangan, menahan nafsu, menguatkan jiwa dan
agar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan.
Nabi SAW bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu melaksanakan pernikahan, maka
hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan dan memelihara
kemaluan.”
Kemudian Ibnul Qayyim
berkata, “Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya diajak bersenda-gurau
dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya.”
Ini semua menunjukkan
bahwa para ulama dalam usaha mencari jalan baik tidak bersifat konservatif.
Bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau pendapat masa
kini.
Yang dapat disimpulkan
di sini adalah bahwa sesungguhnya Islam telah mengenal hubungan seksual di
antara kedua pasangan, suami-istri, yang telah diterangkan dalam Alquranul
Karim pada surah Al-Baqarah, yang ada hubungannya dengan peraturan keluarga.
Firman Allah SWT: “Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu
adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu, Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu,
hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedangkan kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya…” (QS Al-Baqarah: 187).
Tidak ada kata yang
lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara suami-istri, kecuali
yang telah disebutkan, yaitu: “Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan
kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS Al-Baqarah: 187)
Pada ayat lain juga
diterangkan, yaitu: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah:
Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Istri-istrimu adalah
(seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah
(amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang
yang beriman.” (QS Al-Baqarah: 222-223)
Maka, semua hadis yang
menafsirkan bahwa dijauhinya yang disebut pada ayat di atas, hanya masalah
persetubuhan saja. Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.
Pada ayat di atas
disebutkan: “Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan cara
bagaimanapun kamu kehendaki.” (QS Al-Baqarah: 223)
Tidak ada suatu
perhatian yang melebihi daripada disebutnya masalah dan undang-undang atau
peraturannya dalam Alquranul Karim secara langsung, sebagaimana diterangkan di
atas. (cr01/RoL)
Sumber: Fatwa Qaradhawi
Sumber: Fatwa Qaradhawi