Bila Enkau Hidup Hari ini, Jangan Menunggu Hari Esok Untuk Beribadah, Karena ajal/kematian Akan Memjemputmu Kapan saja, Tanpa Disangka-sangka

Senin, 08 Oktober 2012

Baharuddin Lopa, Sang Pendekar Hukum From Mandar



Prof Baharuddin Lopa dikenal sebagai sosok penegak dan pendekar hukum di Indonesia. Beliau dikenal sebagai seorang yang tegas, konsisten, berani, jujur dan sangat independen. Bahkan menurut koleganya, pada setiap tempat tugas barunya, Pak Lopa selalj berbeda dan bertabrakan dengan pejabat teras di daerah tersebut.

Di Aceh, Kalimantan Barat umpamanya. Pak Lopa biasanya juga tidak lama menjabat di suatu tempat. Kalau ditanyakan kepada beliau, apakah suasana seperti itu menunjukkan ketidaksenangan pak Harto kepadanya, pak Lopa menjawab bahwa justeru itulah bukti pemerintah sayang kepadanya. Jadi, Pak Lopa ini orang sangat husnuz zan, berbaik sangka kepada pimpinan.

Suatu waktu, Husni Jamaluddin --presiden penyair--yang juga koleganya bertanya: mengapa Pak Lopa demikian lurus dalam menegakkan hukum. Beliau menjawab dalam bahasa Mandar: masiri' tau, apa Mandar'i tau. Kita malu berbuat tidak jujur sebagai orang Mandar.

Di harian Republika, beliau pernah menulis artikel dengan judul: Hal kecil berdampak besar. Pak Lola bercerita tentang suasana pembahasan kitab kuning yang dipimpin oleh pamannya di Pambusuang, Polewali Mandar. Telaah dan pembacaan kitab tidak berjalan lancar sebagaimana biasanya. Masalah sulit terpecahkan. Sampai Kyai Muhammad bertanya kepada keluarganya yang menyuguhkan minuman.
Darimana sumber hidangan yang dihidanhkan kala itu? Setelah diusut, ternyata kayu yang dipakai menanak air panas bersumber dari daun kelapa kering sang tetangga. Daun kelapa sang tetangga tersebut diambilnya tanpa sepengetahuan tetangganya yang kebetulan sedang berada di seberang. Kyai Muhammad memerintahkan keluarganya agar mencari orang tersebut dan meminta halal daun kelapanya.

Demikianlah, setelah semuanya selesai, lancar pulalah pengajian kitab tadi. Suasana keluarga santri yang seperti itulah yang menerpa pak Lopa. Sangat ketat dan hati-hati dalam memelihara kebersihan makanan yang dikonsumsinya. Pada suatu waktu, saya membaca testimoni Dr Hamid Awaluddin di harian Kompas. Pak Hamid ketika sedang menulis disertasi dan sedang berada di Indonesia untuk kepentingan riset. Pak Hamid menemui pak Lopa di Kantornya, Lapas Salemba, karena beliau sebagai Dirjen Lapas. Setelah wawancara selesai, dan tibalah waktu makan siang. Pak Lopa memiliki nasi kotak. Nasi kotaknya itu dibagi dua, separoh untuk beliau dan selebihnya untuk pak Hamid, demikian pula dengan lauknya. Ayam goreng juga dibagi dua. Setelah selesai makan, pak Lopa memberi ongkos angkot sebanyak sekitar rp.7.500 kepada pak Hamid, sambil menunjukkan arah ke Blok M menuju Ciputat lengkap dengan keterangan metromininya. Pak Lopa dengan dialek Mandarnya berucap: kalau Anda tiba di panyingkul--perapatan--naik oto merah--naik mobil merah.

Demikian kejujuran, kesederhanaan hidup pak Lopa. Sewaktu saya masih di pesantren Salafiyah, Bonde, Campalagian, guru saya Kyai Muhammad Zein kedatangan tamu dari Jakarta. Seorang ibu berkulit putih yang ditemani oleh puterinya. Mereka naik mobil Datsun. Belakangan saya tahu bahwa beliau adalah ibu Hajnah Indrawulan, isteri pak Lopa, sang pendekar hukum itu. Waktu sekitar tahun 1984 atau 1985. Si ibu itu bercerita bahwa kakak kandungnya ada masalah pembagian harta warisan. Kalau perkaranya sampai ke pengadilan, maka pak Lopa tidak akan membantunya.

 Sang isteri akan diperlakukan layaknya orang biasa yang sedang mencari keadilan. Tidak ada perlKuan istimewa. Kyai saya menasehati sang ibu untuk mendukung suaminya yang demikian tegasnya dalam menegakkan keadilan. Sang Ibu, lalu memperkenalkan puterinya yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Indonesia, Jakarta. Pada saat terjadi UMI "berdarah", pak Lopa turun lapangan untuk mengecek langsung peristiwa tersebut. Husain Abdullah, wartawan RCTI menawarkan tumpangan kepada pak Lopa, tapi beliau menolak dengan halus, dan memilih untuk naik angkot. Kata pak Lopa, ia sudah mendapatkan SPPD. Jadi kalau menerima tawaran pak Husain Abdullah, berarti beliau sudah menyeleweng.

Pada malam harinya, saya membuat janji dengan kawan saya Dr Wajidi agar saya bisa silaturahim dengan pak Lopa. Saya tiba di rumah kediaman beliau ba'da maghrib. Saya sesungguhnya tidak memiliki agenda penting. Saya hanya ingin bertemu dengan sang pendekar hukum yang sudah lama menjadi buah bibir itu. Setelah kami masuk di ruang tamu, seorang perempuan paroh baya turun dari lantai dua dan bertanya apa maksud kedatangan kami. Saya jawab sekenanya: mau silaturahim.

 Pak Lopa rupanya mendengar percakapan singkat kami. Dan beliau setengah berteriam bertanya: innai dio. Siapa yang datang. Si perempuan paroh baya menjawab: temannya wajidi--yang kebetulan masih keponakan pak Lopa. Pak lopa bertanya lagi: apa akkattana. Apa maksud tujuannya. Tidak lama kemudian, beliau menemui kami di lantai satu. Beliau langsung mempersilKan kami untuk makan malam. Sambil makan, saya mengajukan perrtanyaan sekitar huru hRa makassar. Sambil makan, saya juga melihat lihat perpustakaan pribadi pak Lopa yang ternyatabuku karya Sayyid Quthub, tafsir fi zilal al.Quran menjadi koleksi utama beliau.

 Tidak lama kemudian, datanglah seorang ibu Cina yang sambil menangis ia juga mengadukan masalahnya yang terkait dengan tanah. Pak Lopa dengan sangat bedsemangat akan membantu sang ibu itu. Demikianlah secuil perkenalan saya dengan sang pendekar hukum itu.

Nukilan dari Dr. Muhmmad Zain. Kasubdit Dirjen Pendidikan Agama.

  By: Sukmahadi Mahasiswa Indonesia di Maroko Afrika Utara, Jurusan Ushul Fiqhi.

Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More