Prof
Baharuddin Lopa dikenal sebagai sosok penegak dan pendekar hukum di Indonesia.
Beliau dikenal sebagai seorang yang tegas, konsisten, berani, jujur dan sangat
independen. Bahkan menurut koleganya, pada setiap tempat tugas barunya, Pak
Lopa selalj berbeda dan bertabrakan dengan pejabat teras di daerah tersebut.
Di
Aceh, Kalimantan Barat umpamanya. Pak Lopa biasanya juga tidak lama menjabat di
suatu tempat. Kalau ditanyakan kepada beliau, apakah suasana seperti itu
menunjukkan ketidaksenangan pak Harto kepadanya, pak Lopa menjawab bahwa
justeru itulah bukti pemerintah sayang kepadanya. Jadi, Pak Lopa ini orang
sangat husnuz zan, berbaik sangka kepada pimpinan.
Suatu
waktu, Husni Jamaluddin --presiden penyair--yang juga koleganya bertanya:
mengapa Pak Lopa demikian lurus dalam menegakkan hukum. Beliau menjawab dalam
bahasa Mandar: masiri' tau, apa Mandar'i tau. Kita malu berbuat tidak jujur sebagai
orang Mandar.
Di
harian Republika, beliau pernah menulis artikel dengan judul: Hal kecil
berdampak besar. Pak Lola bercerita tentang suasana pembahasan kitab kuning
yang dipimpin oleh pamannya di Pambusuang, Polewali Mandar. Telaah dan
pembacaan kitab tidak berjalan lancar sebagaimana biasanya. Masalah sulit
terpecahkan. Sampai Kyai Muhammad bertanya kepada keluarganya yang menyuguhkan
minuman.
Darimana
sumber hidangan yang dihidanhkan kala itu? Setelah diusut, ternyata kayu yang
dipakai menanak air panas bersumber dari daun kelapa kering sang tetangga. Daun
kelapa sang tetangga tersebut diambilnya tanpa sepengetahuan tetangganya yang
kebetulan sedang berada di seberang. Kyai Muhammad memerintahkan keluarganya
agar mencari orang tersebut dan meminta halal daun kelapanya.
Demikianlah,
setelah semuanya selesai, lancar pulalah pengajian kitab tadi. Suasana keluarga
santri yang seperti itulah yang menerpa pak Lopa. Sangat ketat dan hati-hati
dalam memelihara kebersihan makanan yang dikonsumsinya. Pada suatu waktu, saya
membaca testimoni Dr Hamid Awaluddin di harian Kompas. Pak Hamid ketika sedang
menulis disertasi dan sedang berada di Indonesia untuk kepentingan riset. Pak
Hamid menemui pak Lopa di Kantornya, Lapas Salemba, karena beliau sebagai
Dirjen Lapas. Setelah wawancara selesai, dan tibalah waktu makan siang. Pak
Lopa memiliki nasi kotak. Nasi kotaknya itu dibagi dua, separoh untuk beliau
dan selebihnya untuk pak Hamid, demikian pula dengan lauknya. Ayam goreng juga
dibagi dua. Setelah selesai makan, pak Lopa memberi ongkos angkot sebanyak
sekitar rp.7.500 kepada pak Hamid, sambil menunjukkan arah ke Blok M menuju
Ciputat lengkap dengan keterangan metromininya. Pak Lopa dengan dialek
Mandarnya berucap: kalau Anda tiba di panyingkul--perapatan--naik oto
merah--naik mobil merah.
Demikian
kejujuran, kesederhanaan hidup pak Lopa. Sewaktu saya masih di pesantren
Salafiyah, Bonde, Campalagian, guru saya Kyai Muhammad Zein kedatangan tamu
dari Jakarta. Seorang ibu berkulit putih yang ditemani oleh puterinya. Mereka
naik mobil Datsun. Belakangan saya tahu bahwa beliau adalah ibu Hajnah
Indrawulan, isteri pak Lopa, sang pendekar hukum itu. Waktu sekitar tahun 1984
atau 1985. Si ibu itu bercerita bahwa kakak kandungnya ada masalah pembagian
harta warisan. Kalau perkaranya sampai ke pengadilan, maka pak Lopa tidak akan
membantunya.
Sang isteri akan diperlakukan layaknya orang
biasa yang sedang mencari keadilan. Tidak ada perlKuan istimewa. Kyai saya
menasehati sang ibu untuk mendukung suaminya yang demikian tegasnya dalam
menegakkan keadilan. Sang Ibu, lalu memperkenalkan puterinya yang sedang
menempuh pendidikan di Universitas Indonesia, Jakarta. Pada saat terjadi UMI
"berdarah", pak Lopa turun lapangan untuk mengecek langsung peristiwa
tersebut. Husain Abdullah, wartawan RCTI menawarkan tumpangan kepada pak Lopa,
tapi beliau menolak dengan halus, dan memilih untuk naik angkot. Kata pak Lopa,
ia sudah mendapatkan SPPD. Jadi kalau menerima tawaran pak Husain Abdullah,
berarti beliau sudah menyeleweng.
Pada
malam harinya, saya membuat janji dengan kawan saya Dr Wajidi agar saya bisa
silaturahim dengan pak Lopa. Saya tiba di rumah kediaman beliau ba'da maghrib.
Saya sesungguhnya tidak memiliki agenda penting. Saya hanya ingin bertemu
dengan sang pendekar hukum yang sudah lama menjadi buah bibir itu. Setelah kami
masuk di ruang tamu, seorang perempuan paroh baya turun dari lantai dua dan
bertanya apa maksud kedatangan kami. Saya jawab sekenanya: mau silaturahim.
Pak
Lopa rupanya mendengar percakapan singkat kami. Dan beliau setengah berteriam
bertanya: innai dio. Siapa yang datang. Si perempuan paroh baya menjawab:
temannya wajidi--yang kebetulan masih keponakan pak Lopa. Pak lopa bertanya
lagi: apa akkattana. Apa maksud tujuannya. Tidak lama kemudian, beliau menemui
kami di lantai satu. Beliau langsung mempersilKan kami untuk makan malam.
Sambil makan, saya mengajukan perrtanyaan sekitar huru hRa makassar. Sambil
makan, saya juga melihat lihat perpustakaan pribadi pak Lopa yang ternyatabuku
karya Sayyid Quthub, tafsir fi zilal al.Quran menjadi koleksi utama beliau.
Tidak lama kemudian, datanglah seorang ibu
Cina yang sambil menangis ia juga mengadukan masalahnya yang terkait dengan
tanah. Pak Lopa dengan sangat bedsemangat akan membantu sang ibu itu.
Demikianlah secuil perkenalan saya dengan sang pendekar hukum itu.
Nukilan dari
Dr. Muhmmad Zain. Kasubdit Dirjen Pendidikan Agama.
By: Sukmahadi Mahasiswa Indonesia di Maroko Afrika Utara, Jurusan Ushul Fiqhi.