Saaya adalah sang pemimpi yang mempunyai karakter tidak
gampang menyerah. Dilahirkan di Kec. Karossa Kab. Mamuju, Provinsi Sulawesi
Barat (Sulbar), anak keempat dari
tujuh bersaudara, serta hanya saya yang bisa menginjakkan kaki di Perguruan
Tinggi. Kadang orang memanggilku Hadi ada juga yang
memanggilku Sukma dan itu tak masalah bagiku, nama lengkapku Sukmahadi.
Jika mengingat masa lalu mungkin saya tak sanggup membayangkan
betapa susahnya duduk di bangku sekolah di tengah himpitan ekonomi hingga
meraih beasiswa ke Luar Negeri. Berikut langkah ceritaku dimulai menuju impian
di tanah Negeri Seribu Benteng, Maroko.
Masih sangat teringat dalam memoriku, betapa banyak
sekolah yang saya duduki selama menempuh studi, dari sekolah ke sekolah yang
lain. Sekolah Dasar (SD) saja saya harus menduduki 5 sekolah. Ini
terjadi karena orang tua selalu hijrah dari desa ke desa yang lain agar bisa
menafkahi anak-anaknya, mereka rela bercocok tanam (bertani) dari tanah
milik sendiri sampai menggarap tanah milik orang lain. Sulawesi Barat,
provinsi ini terdapat berbagai macam suku, ras, bahasa, diistilahkan dalam ilmu
sosiologi multikultural, bahkan masih banyak hutan rimba yang belum
terkelola. Saya dan adik-adikku setiap hari menempuh hutan rimba yang kadang
terjatuh dari sepeda kerena jalannya penuh dengan rumput ditambah lagi
ukurannya yang sangat kecil selebar 15 cm maklum jalan menuju ke kebun,
sebab kami tinggal di sebuah gubuk
jarak perjalanan kami menuju desa (ke sekolah) sekitar 10 KM. Namun
waktu demi waktu roda kehidupan berjalan, dan Alhamdulillah pada tahun 2002
penulis berhasil menyelesaikan sekolah dasar.
Niat
penulis sangat kuat untuk melanjutkan studi, namun takdir berkata lain, tahun
2002 terjadi perang suku, sebut saja suku Mandar dan Palopo
sebagian rumah-rumah keluarga kami ikut menjadi pembakaran amuk massa.
Dengan musibah ini kami pindah ke Kab. Polewali Mandar masih dalam
kawasan Sulbar, jarak Kab. Mamuju (tempat kami tinggal) menuju Kab. Polewali
Mandar sekitar 8 jam dengan menggunakan Bus. Ayah dan ibu sudah kewalahan mencari nafkah, untungnya masih banyak keluarga kerabat yang baik
hati membantu di Kabupaten ini sebab kabupaten ini merupakan tanah kelahiran
ayah, dengan demikian ayah memilih menjadi pembuat gula aren kata wong
jowo (orang jawa) gula merah
dalam bahasa Indonesia. Sebagai dampak musibah ini saya tidak bisa melanjutkan
studi ke jenjang madrasah tsanawiyah (SMP) disebabkan himpitan ekonomi. Selama
setahun penulis hanya bisa membantu profesi orang tua membuat gula aren.
Di
tahun 2003 terdengar kabar bahwa ada sebuah yayasan pesantren yang baru saja
berdiri dan mambutuhkan santri secara cuma-cuma alias gratis, sebut saja Pondok
pesantren Al-Ihsan Kenje Kab. Polewali Mandar. Hati dan jiwa raga ini bahagia
dan gembira akhirnya saya bisa melanjutkan studi. Di sekolah inilah saya
dididik oleh seorang kyai pimpinan pondok. Seiring berjalannya waktu usiaku
semakin bertambah membuatku selalu berpikir dewasa bagaimana meraih prestasi
yang memuaskan. Kata bang haji Rhoma Irama ‘’darah mudah darah berapi-api”,
sudah dua tahun penulis duduk di ponpes ini namun tidak merasa puas dengan apa
yang saya dapat sehingga memutuskan untuk pindah dari satu pondok ke pondok
yang lain tanpa sepengetahuan orang tua sebab orang tua hanya tahu bahwa
anaknya sekolah tanpa mereka tahu dia butuh apa dan di mana dia sekolah? Hingga suatu ketika ibu menyusuri sebuah
kecamatan di mana terdapat banyak ponpes di kecamatan tersebut pada
ahirnya ibu tercinta berhasil menemukanku pada pesantren terakhir yang beliau
cari.
Allah
SWT berfirman: ‘’Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah maka Allah SWT akan
selalu memberikan baginya keringanan/jalan keluar’’(Ath-thalaq ayat 2-3). Dalil
ini selalu menguatkan hatiku untuk selalu semangat dalam menuntut ilmu, sebab
saya yakin bahwa selama seorang hamba beriman kepada Allah SWT dan senantiasa
menuntut ilmu syariat islam Insya Allah hamba itu akan selalu menemukan jalan
keluar. Di tingkat madrasah tsanawiyah (SMP), lagi-lagi saya menginjakkan kaki
di 3 sekolah: Ponpes Al-Ihsan, Ponpes Syekh Hasan Yamani, dan Ponpes
As-Salafiyah Parappe. Kali ini terjadi karena saya ingin tahu
kelebihan-kelebihan satu pesantren dengan lainnya, atas keinginan saya bukan
kehendak orang tua. Pernah suatu ketika di ponpes bahan sandang panganku sudah
ludes habis, untungnya ada teman yang baik hati senang berbagi denganku. Pada
tahun 2006 Syukur Alhamdulillah akhirnya saya selesai juga dengan penuh
perjuangan.
Tibalah
saatnya untuk melanjutkan studi ke SMA/MA. Dengan dasar-dasar bahasa Arab yang sudah
saya pelajari selama di pondok, alhamdulillah penulis diberi kepercayaan untuk
ikut membina para santri di Ponpes Al-Ihsan. Dengan demikian saya harus
pintar-pintar membagi waktu sebab statusku masih sebagai siswa di Madrasah
Aliyah (MA) Pergis Camapalagain Sulbar. Tepatnya kelas dua, disinilah saya
mempunyai keinginan kuat untuk menempuh studi kuliah ke luar negeri setelah
tamat SMA nanti. Itulah pribadiku selalu berencana walaupun waktunya masih
lama. Pengalaman selama studi hidupku yang selalu mandiri mendorongku selalu bersemangat
menabung agar suatu ketika peluang cita-cita itu sudah di ambang pintu saya
tidak kewalahan lagi mencari uang. Sejak kelas dua MA sudah
mulai menabung demi mencapai cita-citaku yang tinggi.
Di tahun 2009 ahirnya aku tamat (selesai) dari MA. Pergis
Campalagian Sulbar, disinilah seakan-akan menemukan jalan buntu sebab informasi
tentang beasiswa studi ke luar negeri sangat jarang, maklum saat itu Sulbar
masih belum terjangkau internet. Jangankan internet, sebagian kabupaten saja
masih banyak yang belum menikmati listrik. Informasi yang masih sangat susah
diakses membuatku bertanya-tanya ke sana kemari, pada akhirnya saya menemukan
seorang alumni Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir. Beliau sangat banyak
memberiku informasi tentang Beasiswa Studi ke Luar Negeri khususnya Mesir. Namun rupanya
Allah berkehendak lain, saat itu tes untuk beasiswa ke Al-Azhar Cairo diadakan di Kedutaan Besar Mesir di
Jakarta sedangkan aku tak punya duit untuk ke Jakarta. Beberapa bulan kemudian ada ajakan
dari teman bahwa walaupun belum memperoleh beasiswa, namun jika kita bisa
meraih prestasi yang memuaskan di Al-Azhar insya Allah bisa meraih
beasiswa setelah tiba di sana, kata teman yang paling terpenting sekarang kita
harus ikut tes ujian di UIN Alauddin Makassar! Hari ‘’H’’ tes tiba, terpikir olehku
walaupun saya lulus tes nonbeasiswa ke mesir lalu dari mana biaya tiket ke
sananya? lagi-lagi hatiku menangis sangat ingin meraih cita-cita studi ke luar
negeri namun tak punya modal. Namun dalam qolbuku yang paling dalam saya yakin Allah
tidak buta, Allah maha kaya dan semua ini ada hikmahnya.
Terbukti
walaupun saya tidak jadi ke Al-Azhar Cairo, Alhamdulillah penulis termasuk siswa yang
meraih prestasi selama di MA. Pergis Campalagain. Dengan prestasi
itulah seorang pengasuh Madrasah tersebut yang mempunyai hati yang dermawan
rela memberiku sebagian rezekinya agar aku gunakan kuliah di UIN Alauddin
Makassar. Walaupun kadang jauh dari cukup tapi Syukur Alhamdulillah saya masih
bisa berusaha menutupi kekurangan itu. Semua ini penulis menempuhnya dengan penuh kemadirian dan
mengharap ridho dari orang tua.
Bulan demi bulan hingga cukuplah setahun saya kuliah di
UIN Alauddin Makassar dengan jurusan Sastra Arab, hati ini tak tenang dan tidak merasa puas jika
mimpi-mimpiku tak tercapai. Kota Makassar yang ada di Sulsel merupakan
kota yang sangat indah, ramai, gedung-gedung tinggi menghiasi kota ini otomatis
informasi sudah sangat gampang diakses, akhirnya di tahun 2010 saya memperoleh beberapa
informasi Beasiswa ke timur tengah diantaranya Libya yang dipegang oleh
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), beasiswa Arab Saudi, Sudan dan
Maroko. Negara Libya misalnya saya berusaha mendapatkan rekomendasi dari
dua Oraganisasi NU dan Muhammadiyah namun lagi-lagi tesnya diadakan di Jakarta,
Beasiswa Arab Saudi misalnya saya mencoba mengirim berkas ke Universitas Islam
Madinah namun tak ada jawaban, Beasiswa Sudan Alhamdulillah tes beasiswa Sudan
diadakan di UIN Alauddin Makassar tempat saya kuliah. Nah, ini yang saya
tunggu-tunggu dengan penuh kegembiraan, semangat, penulis ikut ujian tersebut
yang tim pengujinya langsung dari Kedutaan Besar Sudan di Jakarta. Menurut
keputusan panitia pengumuman kelulusan akan diumumkan sekitar sebulan setelah
tes namun sampai dua bulan hasil tak kunjung keluar juga, itulah sebabnya saya
selalu tak mau ketinggalan mengecek di situs Kementerian Agama www.ditpertais.net. Disela-sela pengecekan
tersebut tawaran beasiswa Maroko Afrika utara muncul di situs ini, terbenak
dalam pikiranku bahwa kesempatan ini tak boleh disia-siakan. Akhirnya saya
mendaftarkan diri untuk meraih beasiswa itu.
Walhasil tepat bulan
puasa 2010 sebelum tidur tiba-tiba handphoneku berdering. Sebuah pesan dari salah satu pegawai kementerian Agama RI atas
nama Bpk. Bil Bachtiar, Lc, MA. Menyatakan saya lulus, meraih dua beasiswa:
Sudan dan Maroko, Alhamdulillaaah!
Kini kegelisahan lain datang menghampiri, bahkan sempat meneteskan air mata dihadapan seorang guru: “Bagaimana caranya saya agar bisa sampai ke ibu
kota, Jakarta, karena beasiswa tersebut tidak menanggungnya?”
Saya
adalah sang pemimpi yang tidak gampang menyerah, Alhamdulillah saya
berjuang mondar mandir ke sana ke mari mengajukan berbagai macam proposal
ke berbagai instansi pemerintah di antaranya: Kantor
Bupati Polewali Mandar Sulbar, BAZDA (Badan Amil Zakat) Kab. Polewali Mandar,
BAZDA Kab. Majene, Kantor Gubernur Sulawesi Barat, bahkan sempat mengirim
proposal ke Dhompet Dhuafa dan Rumah Zakat di Jakarta. Namun tak semua instansi
yang saya datangi membuahkan hasil yang memuaskan bahkan ada yang menolak.
Walaupun demikian saya tetap bersyukur karena BAZDA Kab. Polewali Mandar
mengabulkan permohonanku, itulah yang saya gunakan sehingga saat ini penulis
sedang menjalani mimpinya dengan semagat menempuh studi di luar negeri tepatnya
di Maroko-Afrika utara, yang sebelumnya juga dinyatakan lulus meraih beasiswa
Sudan.
Kini
penulis sekarang sedang menikmati betapa indahnya menuntut ilmu di Negara arab,
namun disisi lain masih dihantui perasaan sedih sebab ayah telah kembali Ke
Rahamtullah sebulan setelah saya tiba di Maroko, sampai saat inipun jasad
apalagi kuburan beliau belum sempat saya lihat……’’’YA Allah Mudahkanlah
segala urusanku agar hamba cepat balik ke kampung halaman dengan membawa
segudang ilmu serta melihat kuburan sang ayah tercinta’’
“BERMIMPILAH DAN JANGAN ADA
RASA PUTUS ASA DALAM MENGGAPAI MIMPI ITU’’
‘’GANTUNGKAN CITA-CITAMU
SETINGGI LANGIT’’
Hanya kepada Alloh-lah penulis mengharapkan ridlo dan
maghfirah serta ridho dan do’a dari kedua orang tua.
Insya Allah Tulisan ini diterbitkan menjadi sebuah buku, bersama kisah para peraih beasiswa dunia, mudah-mudahan bermamfaat untuk putra-putri indonesia dalam meraih mimpi. Silahkan miliki bukunya, terbit bulan juni 2012.
*Sekarang penulis terdaftar sebagai Mahasiswa di Universitas Sidi Mohammed Ben Abdellah, Fes-Maroko, Jurusan Studi Islam. E-mail : afikrihaditomandar@yahoo.com